Mengacu pada talk show pada 12 November 2021 yang mengambil tema diskusi “Ecoprint bukan batik”, akhirnya menjadi lebih terdefinisikan dengan tepat filosofi yang terkandung dalam karya ecoprint. Talkshow diselenggarakan dalam rangkaian acara Hari Ulang Tahun AEPI (Asosiasi Eco-printer Indonesia), yang pertama, digarap indah oleh AEPI Jawa Timur dengan tajuk The Dazzle of Ecoprint. Rangkaian acara diselenggarakan di Royal Plaza mall, Surabaya.
Diawali dari Isty Istiqomah sang pemandu talk show melempar umpan di mana seringkali orang begitu melihat karya ecoprint langsung menyebutnya sebagai batik. Riamah Daulat sebagai salah satu pembicara mengawali bahwa opini masyarakat sangat perlu untuk diluruskan. Sebagai ketua panitia Hari Ulang Tahun AEPI selalu mengemukakan kepada para tamu bahwa sangat perlu dibedakan antara ecoprint dan batik.
Dari talk show ini segera terasakan bahwa pembeda yang pasti utamanya pada filosofi. Mengapa penekanan pembedanya pada hal filosofinya? Puthut Ardianto yang cukup paham budaya batik, menjelaskan bahwa di setiap karya kain batik selalu diikuti oleh filosofi yang mendalam. Dicontohkannya, dalam upacara pernikahan, orang tua pengantin mengenakan batik motif Truntum dengan maksud agar cinta kedua mempelai semakin tumbuh berseri,” jelas Puthut yang pernah dinobatkan sebagai duta wisata Yogyakarta.
Begitu pula untuk mempelai, mereka seringkali “diibaratkan” sebagai raja dan ratu sehari. Sehingga mereka disarankan memakai kain batik bermotif Sido Mukti atau Sido Asih agar saling mengasihi dan memuliakan satu sama lain.
Dari berbagai motif batik selalu diikuti oleh filosofi yang mendalam. Baik motif Kembang setaman, sekar pace dan ratusan motif lainnya.
Bagaimana dengan Ecoprint yang berusahan meluruskan opini masyarakat bahwa ada perbedaan yang nyata dengan Batik?
Kali ini Joko Suyono, seorang ahli tekstil kaliber nasional, memberi penjelasan yang cukup gamblang. “Teknik Ecoprint berawal dari Australia dan berkembang menjadi keterampilan di berbagai negara. Akhirnya sangat sesuai dengan keprihatinan dunia terhadap meledaknya sampah pastik, merosotnya keanekaragaman hayati juga kerusakan iklim”, papar Joko Suyono.
Dikemukakan oleh ahli tekstil yang udah lama berkecimpung di dunia tekstil, khusunya sarung yang cukup terkenal di tanah air Indonesia maupun manca negara, bahwa kegiatan ecoprint sangat selaras dengan keprihatinan dunia terhadap kemerosotan kualitas ekologi bumi kita. Lebih real, para ecoprinter selalu menggunakan pewarna alami dan menghindari pewarna teksil sintetis. Seringkali ecoprinter menanam tanaman dalam pot atau di halaman rumah untuk mempermudah mendapatkan daun dalam berkarya. Perilaku memetik daun tanaman, ternyata sangat baik bagi tanaman itu sendiri karena memacu pertumbuhan tunas daun berikutnya juga untuk mempercepat pertumbuhan tunas samping, toh tanaman selalu punya program untuk dipangkas atau prunning.
Kebiasaan menanam ini jika dikalikan jumlah ecoprinter maka menjadi sumbangan yang berarti bagi perbaikan paru-paru dunia. Hasil lain, tanaman-tanaman yang sudah mulai langka akhirnya dilestarikan oleh ecoprinter. Diantaranya Daun Lanang, Jenitri, Pohon Kalpataru, Pohon Bodi dan masih banyak tanaman lain yang ternyata juga tanaman obat atau herbal.
Biodiversity atau keanekaragaman hayati Indonesia, dijelaskan oleh Joko Suyono, telah dikenal sepenjuru dunia, ribuan spesies tanaman yang tidak dipunyai oleh tempat lain seperti Eropa juga Australia.
Hal ini bisa menjadi identitas karya bagi ecoprinter. Kain ecoprint dengan daun jati biasanya bukan karya ecoorinter asal Kalimantan. Sebaliknya karya dengan motif daun kayu Ulin pasti dibuat oleh ecoprinter Kalimantan. Kayu Bayur banyak tumbuh di Sumatera, sedangkan pulau Sulawesi punya tanaman yang sangat khas yaitu kayu Hitam atau ebony.
Demikian isi talkshow yg bisa tertangkap. Majulah ecoprinter Indonesia memperjelas identitas karya. (Totok Hartoyo, pengamat Ecoprint)